Wartawan WIP dilengkapi dengan kartu identitas, pin, surat tugas liputan dan tercantum dalam box redaksi. Bagi yang tidak dilengkapi dengan identitas resmi dan namanya tidak tercantum dalam box, redaksi tidak bertanggung jawab

26 Desember 2010

DISKRIMINASI



DISKRIMINASI PENDIDIKAN DAN BUTA HURUF


JABAR,WIP
Fenomena buta huruf sangat mencengangkan dunia. Saat ini, diperkirakan tak kurang dari 771 juta jiwa penduduk dunia adalah penyandang buta huruf. Tak jauh berbeda, kondisi buta huruf di Indonesia pun masih menjadi persoalan pemerintah kita yang belum tuntas diberantas.Angka penyandang buta huruf di Indonesia masih sangat tinggi, suatu jumlah yang kelak bisa menjadi bom waktu yang bisa menghancurkan bangsa ini.Dari 771 juta jiwa tersebut, diyakini 13,2 juta jiwanya adalah penduduk Indonesia. Beriringan dengan angka ini, jumlah penduduk miskin Indonesia pun tidak sedikit. Berdasarkan data BPS 2005, penduduk miskin Indonesia mencapai 37,17 juta penduduk atau 16,58% dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah itu terus meningkat menjadi 39,30 juta jiwa atau 17,75% dari jumlah penduduk Indonesia pada 2007. Angka buta huruf memang berkorelasi dengan angka kemiskinan. Sebab, penduduk yang tidak bisa membaca secara tidak langsung mendekatkan mereka pada kebodohan, sedangkan kebodohan itu sendiri mendekatkan mereka pada kemiskinan. Gambaran tentang hubungan kebodohan dan kemiskinan bisa diperjelas dengan asumsi seperti ini bahwa orang bodoh bisa dibodohi, oleh karena itu, mereka juga bisa dengan mudah dimiskinkan.
Oleh karena itu, sebagai jalan untuk memberantas kebodohan itu, penduduk harus dicerdaskan. Buta huruf yang selama ini menjadi faktor mereka dicap sebagai orang bodoh harus diperangi dengan jalan pendidikan.Upaya pemberantasan buta huruf di Indonesia memang sudah memberikan hasilnya. Bila dibandingkan dengan jumlah buta huruf saat awal kemerdekaan yang mencapai lebih dari 90% dari jumlah penduduk Indonesia saat itu, pemberantasan buta huruf saat ini bisa dikatakan berhasil ("PR", 10/9/2005). Akan tetapi, keberhasilan ini tidaklah sempurna sebelum angka buta huruf di negeri kita mencapai nol persen. Artinya, tidak ada lagi anak bangsa ini yang tidak bisa membaca dan menulis. Ketercapaian angka nol persen buta huruf Indonesia merupakan harapan yang bisa kita wujudkan.Hal utama yang harus dikerjakan untuk menuntaskan buta huruf adalah membuka akses pendidikan yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Persoalannya sekarang, apakah di negeri kita akses terhadap pendidikan bagi warganya sudah mudah?Komposisi penderita buta huruf di Indonesia beragam. Jumlah penderita buta huruf di Indonesia tidak hanya dialami satu generasi, tetapi terdiri atas generasi muda dan tua. Berdasarkan data BPS 2005, dari total angka buta huruf 15 juta penduduk lebih, 10% atau sekitar 1,5 juta di antaranya berusia di antara 15-44 tahun. Dengan demikian, pendidikan sebagai senjata utama penghapusan buta huruf itu senantiasanya harus menyentuh baik generasi muda maupun generasi tuanya.Bab IV Pasal 5 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu." Kita bisa melihat bahwa secara konstitusional negara memang memperhatikan dan menjamin hak warganya guna memperoleh pendidikan. Jaminan tersebut dipertegas dengan bab IV Pasal 11 ayat 1 UU yang sama berbunyi, "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun." Namun, sangat disayangkan, di lapangan, kedua ayat ini hanya berlaku sebatas kata-kata di atas kertas.

Akses kepada sektor pendidikan masih sangat sulit bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Faktor biaya menjadi faktor utama yang menghalangi rakyat untuk bisa merasakan manisnya layanan pendidikan. Negara masih diskriminasi terhadap warganya yang secara finansial tidak mampu. Banyak sekolah di negeri ini berlaku diskriminatif kepada anak-anak miskin. Kendati ada bantuan pemerintah dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS), hal itu tidak secara otomatis menjadikan anak-anak miskin bisa mengecap pendidikan. Di luar biaya BOS, masih banyak biaya lain yang wajib dibayar siswa untuk mengenyam pendidikan. Misalnya, untuk buku sekolah, seragam sekolah, atau program karya wisata sekolah.Mahalnya biaya pendidikan merupakan kontradiksi atas konstitusi yang selama ini menjamin hak warga negara untuk mengenyam pendidikan. Komitmen yang setengah hati dari negara untuk mengalokasikan dana 20% dari APBN dan APBD untuk kepentingan pendidikan menjadi hal yang kontraproduktif dalam upaya memberantas buta huruf di Indonesia. Pada sisi lain, sulitnya sebagian besar penduduk kita mengenyam pendidikan tidak lepas dari proses pembangunan yang tidak merata. Masih banyak warga negara yang terpinggirkan dari proses pembangunan sehingga kemampuan mengakses pendidikan semakin kecil. Diskriminasi dari sektor pendidikan dan pembangunan ini harus segera diselesaikan pemerintah sehingga ke depan akses warga terhadap sektor pendidikan semakin besar, yang secara otomatis dari kondisi ini akan tercipta masyarakat yang terdidik yang jauh dari buta huruf. Semoga.Red ***


Tidak ada komentar: